rumah.
Tidak lagi bisa kuhitung seberapa sering aku memeluk diri sendiri. Memberikan kalimat penenang yang harus kutelan sendirian, menguatkan bahu untuk jadi tempat paling nyaman bagi diri sendiri, serta menyediakan kedua tangan ini sebagai yang paling siap untuk menggenggam.
Karena, sekeras apapun aku berusaha, kita tidak bisa terus bersama hanya karena aku mau. Iya, aku mau terus sama kamu. Tapi inginmu hanya berlalu. Inginmu kita jauh saja. Lalu, usaha apa lagi yang perlu aku harapkan di saat bersamapun menjadi suatu hal yang benar-benar aku takutkan?
Hari ini, aku benar-benar tertampar dengan suatu kalimat afirmasi—asupan deretan kalimat penenang bagi diri yang sepi ini. Di kalimat itu, diketik dengan tegas dan jelas, “Untuk bisa damai kamu harus punya rumahmu sendiri, bukan numpang di orang lain. Sehingga ketika dia tidak lagi izinkan kamu masuk ke hidupnya dia, ya kamu punya rumah sendiri dan terlindungi.”
Sesaat, aku pun tersadar dari lamunan panjang ini. Kalimat itu benar. Aku seringkali menempatkan rumahku di tempat yang tanpa kusadari bisa berpindah. Rumah yang tidak bisa selalu aku kunjungi. Rumah yang kuncinya bukan hanya ada padaku. Rumah yang justru bisa meniadakanku.
Terlalu lama dan jauh, aku baru menyadari, bahwa rupanya rumah itu seharusnya aku bangun sendiri, di atas lahan serta pondasi dari kekuatan diriku sendiri. Sehingga aku tak perlu selalu menuntut diri ini pulang kepada rumah lain. Menunggu dibukakan pintu, pada rumah yang sebenarnya tidak pernah benar-benar kumiliki.
Ya, sudah terlalu banyak sekali aku kehilangan di dunia ini. Buruknya, aku juga kehilangan diriku sendiri. It’s been a long time.
Comments
Post a Comment