Posts

Ms. Attached and Mr. Detached

Image
 I just know that the moment I walked out that door You never gave me a second thought. Because you’ve probably deleted all our photos While I can’t even bring myself to go through my camera roll. Because you’re out there going on hikes with your friends While I’m home alone, making you the muse of all my poems. Because I’m spending night after night staring up at my ceiling While I just know you fall asleep the second you lay your head on your pillow. And because I’m still struggling to move on While your life went on like nothing happened at all. But what truly pains me Is that you’re not feeling even an ounce of the pain I feel... I guess I did say I never wanted to see you hurt But really? Nothing? Does my absence not haunt you the way yours haunts me? You don’t miss me like I miss you Because you just don’t care as much as I do.

rumah.

Image
  Tidak lagi bisa kuhitung seberapa sering aku memeluk diri sendiri. Memberikan kalimat penenang yang harus kutelan sendirian, menguatkan bahu untuk jadi tempat paling nyaman bagi diri sendiri, serta menyediakan kedua tangan ini sebagai yang paling siap untuk menggenggam. Karena, sekeras apapun aku berusaha, kita tidak bisa terus bersama hanya karena aku mau. Iya, aku mau terus sama kamu. Tapi inginmu hanya berlalu. Inginmu kita jauh saja. Lalu, usaha apa lagi yang perlu aku harapkan di saat bersamapun menjadi suatu hal yang benar-benar aku takutkan? Hari ini, aku benar-benar tertampar dengan suatu kalimat afirmasi—asupan deretan kalimat penenang bagi diri yang sepi ini. Di kalimat itu, diketik dengan tegas dan jelas, “Untuk bisa damai kamu harus punya rumahmu sendiri, bukan numpang di orang lain. Sehingga ketika dia tidak lagi izinkan kamu masuk ke hidupnya dia, ya kamu punya rumah sendiri dan terlindungi.” Sesaat, aku pun tersadar dari lamunan panjang ini. Kalimat itu benar. Aku ...

tidur.

Image
  Malam sibuk bergelut dengan pikiran sendiri. Lalu, ketika bangun di pagi hari, rasanya gelisah. Mempertanyakan kepada isi kepala sendiri, "hari ini akan ada masalah apa lagi, ya?" Benar-benar kosong pagiku beberapa waktu belakangan ini. Entah harus kudefinisikan seperti apa lagi, yang jelas, kuharap kau tak pernah mengalaminya. Apakah kamu tahu rasanya? Badanmu terasa lemas dan kosong, hatimu tak karuan, dan pandanganmu hampa. Rasanya seluruh aktivitas yang kulakukan tidak ada maknanya. Sia-sia saja. Di tengah riuh ramai sekitar, masih tentang kamu saja yang memenuhi isi kepala.  Kira-kira, jarak yang kamu ciptakan di antara kita ini, mampu membuatmu merasa tidur nyenyak di malam hari? Sepertinya iya, karena kamu tampaknya biasa saja setelah semuanya menjadi seperti ini. Kamu bisa tidur tenang, tengah aku yang dipeluk tangis tak mampu memejamkan mata di sudut kamarku.  Sebenarnya ingin sekali bisa mengeluarkan beban yang ada di pikiran belakangan ini. Semuanya isinya ka...

seandainya itu kamu.

Image
  Kapan ya, aku bisa menjemput bahagiaku? Rasanya, tidak pernah ada sedikit celah untuk bahagia itu datang. Apa mungkin aku sudah terlalu cinta dengan luka  dan sakit yang tidak berkesudahan ini? Aku tidak pernah terpikir walau sedetik, hari ini akan datang juga. Ternyata, kalimat bahwa "people come and go" itu nyata adanya. Kukira, semua orang bisa tetap tinggal karena adanya cinta. Namun, justru semua berawal dari cinta, lalu orang-orang di sekitar kita mulai melangkah ke arah yang berbeda. Jika ada satu permintaan yang boleh kuajukan, aku ingin kembali mengulang sekali saja. Aku ingin kamu tetap sama. Semua terjadi begitu saja, tanpa aku mempersiapkan apa-apa. Aku lalu akan menikmati waktu yang ada kamu di dalamnya. Kemudian aku akan perlahan menata hati bahkan sebelum kamu bahkan memulai pergi.  Sepertinya, memang tidak ada manusia yang siap dengan perubahan yang begitu tiba-tiba, ya? Apalagi ini berkaitan dengan orang yang begitu hangat kepada kita, orang yang begitu...

rasanya berat, ya?

Image
  Hai.. Rasanya seperti sudah lama, ya? Apakah sudah berdebu di sana? Untuk kamu, kita, terutama aku, tulisan ini dibuat sebagai sebuah kalimat penenang bagi hati kita yang sebenarnya tengah berteriak kencang.  Apa kamu pernah tahu rasanya bangun di pagi hari dengan wajah sembab menghiasi, hatimu terasa dihimpit batu yang besar, serta air mata yang mengucur deras begitu saja? Percayalah itu adalah perasaan paling terburuk. Saat semestinya harimu dimulai dengan penuh semangat, tapi di hari itu, hatimu lunglai tak bisa apa-apa.  Sulit sekali ya, rasanya? Kita yang biasanya baik-baik saja, kita yang dulu seolah tak ingin lepas, kita yang saling memeluk menguatkan, kita yang selalu saling ada, lalu kebiasaan di antara kita harus menghilang begitu saja. Kamu paham kan mengapa aku jadi sesedih ini? Ya, karena aku merasa semua terjadi di waktu yang sangat singkat. Terlalu tiba-tiba. Bahkan aku belum sempat memikirkan bagaimana kondisi diriku dengan ketidakhadiranmu.  Apa ka...

Aku (tidak) baik-baik saja.

Image
Tak ada pergi yang baik-baik saja. Ternyata pergimu karena memang tak ada lagi rasa. Rasamu menjelma biasa saja. Aku bukan lagi tentang tempatmu untuk kembali rehat. Begitu mudahnya pergi kau lakukan, sehingga luka yang kau toreh tak lagi mudah untuk kuhitung. Lalu kudapati diriku sendiri yang masih tetap tinggal. Entah karena masih belum puas dilukai atau malah masih terlalu cinta untuk mengakhiri.  Sehening dan sehalus apapun, pergimu tetaplah pergi. Tidak ada pergi yang tak melahirkan rasa sakit dan sepi. Tidak pernah ada yang baik-baik saja setelah itu. Pikirmu, semua akan menjadi mudah hanya dengan kata " lupakan aku, kau pantas mendapatkan yang jauh lebih baik, " begitu? Pergi selalu membawa tangis di belakangnya. Sekeras apapun aku mengusahakan untuk tetap menarik lekuk di bibir, air mataku jatuh juga. Aku bukan akhir dari tualangmu. Terlalu banyak belahan dunia yang masih abu-abu, membuatmu selalu ingin mencari tahu. Aku paham tentang hal itu.  Tak usah memintaku untu...

Laut, Kamu, dan Redup Bulan

Image
Aku Emma. Gadis yang lebih senang memandang langit malam yang gelap ketimbang senja yang dipuji-puji banyak orang. Kutuliskan ini untukmu, pemilik ruang rindu yang hampir rampung, pemilik lekuk paling indah di seluruh jagad raya, siapa lagi selain dirimu, Gema. Entah sebuah kebetulan apa sehingga Tuhan memberikan nama yang hampir serupa. Apakah ini tanda awal bahwa kita adalah garis takdir yang benar-benar direncanakan sebelumnya? Entahlah. "Gema, ayo duduk berdua denganku. Kita lihat langit malam yang tidak ada duanya ini. Senja sudah terlalu biasa, dan aku ingin menjadi luar biasa saat bersamamu." "Kamu terlalu melankolis, Emma." "Itu bukan melankolis. Tapi ungkapan yang tak pernah bisa berbohong. Kau lebih suka duduk di bawah langit malam atau langit senja?" "Apa saja, asal bersamamu." "Hm, inikah bentuk serangan balik darimu?" Ah, aku makin jauh terjatuh dalam renyah tawamu. Gema, kau memang selalu punya cara untuk terus bertahan ja...