Laut, Kamu, dan Redup Bulan

Aku Emma. Gadis yang lebih senang memandang langit malam yang gelap ketimbang senja yang dipuji-puji banyak orang. Kutuliskan ini untukmu, pemilik ruang rindu yang hampir rampung, pemilik lekuk paling indah di seluruh jagad raya, siapa lagi selain dirimu, Gema. Entah sebuah kebetulan apa sehingga Tuhan memberikan nama yang hampir serupa. Apakah ini tanda awal bahwa kita adalah garis takdir yang benar-benar direncanakan sebelumnya? Entahlah.

"Gema, ayo duduk berdua denganku. Kita lihat langit malam yang tidak ada duanya ini. Senja sudah terlalu biasa, dan aku ingin menjadi luar biasa saat bersamamu."

"Kamu terlalu melankolis, Emma."

"Itu bukan melankolis. Tapi ungkapan yang tak pernah bisa berbohong. Kau lebih suka duduk di bawah langit malam atau langit senja?"

"Apa saja, asal bersamamu."

"Hm, inikah bentuk serangan balik darimu?"

Ah, aku makin jauh terjatuh dalam renyah tawamu. Gema, kau memang selalu punya cara untuk terus bertahan jadi yang selalu ada di kepalaku. 

"Gema, malam ini bisakah kita begini saja tanpa ada kata tetapi?"

"Gema, bisakah sekali saja malam ini kau tetap di sini?"

"Gema, jika tidak bisa, apa kita bisa bertemu lagi esok hari di sini, ruang rindu yang hampir rampung dan tumpah ruah?"

Kamu tak menjawab. Diam terpaku. Pandangan matamu sendu. Bahkan ombak yang sedang menggelitik jari-jarimu tak mampu menghapuskan duka itu di matamu. 

"Kau harusnya bahagia, Gema."

"Emma, bisa kau jelaskan di bagian mana aku harus bahagia?"

Ah makin malam, kenapa rindu ini terlalu mengalir deras. Apa waktu tahu bahwa ini saatnya kamu pergi?

"Emma, bisakah kita berhenti bertemu? Aku tidak mau kau terus-terusan berharap."

"Ayolah, aku tidak sedang ingin membahas hal ini."

"Ikhlas, Emma. Mungkin sulit, tapi sampai kapan kau akan terus begini?"

"Gema, kau mencintaiku kan? Lalu bisakah kita tetap bersama tanpa kata tetapi?"

"Aku jauh lebih mencintaimu. Kumohon berhenti membodohi dirimu. Aku tidak nyata bagimu."

Perlahan kamu mulai hilang bersama angin yang berhembus pelan. Bulan meredup, seakan mendukung suasana hatiku saat melihatmu pergi. Aku benar-benar kesal dengan caramu yang seperti ini. Setidaknya berikan aku sepatah dua kata jika sudah waktunya kau pergi. Bukan tiba-tiba pergi dan menghilang semaumu.

Gema, tunggu aku di sana. Lalu aku akan mencintaimu di keabadian. Tunggu aku, selamanya. Hingga kita dapat mencintai tanpa tetapi. 

Aku mencintaimu tetapi tak satu dimensi lagi, misalnya.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

rumah.

tidur.

seandainya itu kamu.